Total Tayangan Halaman
Kamis, 24 November 2011
MELIBATKAN BIROKRAT KATA MAHFUD MD DALAM PIKADA NGGAK APA-APA
Instruksi pejabat daerah tersebut berisi perintah untuk memenangkan calon Ratu Atut Chosiyah sebagai gubernur. Ratu Atut Chosiyah adalah salah satu calon gubernur yang berpasangan dengan Rano Karno sebagai calon wakil gubernur.
Rekaman video yang diterima Liputan6 SCTV, Senin (31/10), memperlihatkan Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Banten Eneng Nurcahyati meminta bawahannya untuk memenangkan gubernur incumbent Atut. Rekaman ini diperkirakan mulai merebak di media jejaring sosial Facebook dan Youtube, Sabtu (29/10) lalu.
Warga Serang, Ray Munzier menyanyangkan sikap pejabat publik yang terang-terangan memberikan dukungan di kantor dinas terhadap salah satu calon gubernur. Menurutnya, pejabat pemerintah seharusnya bersikap netral dan tidak terjebak dalam politik dukung-mendukung.
Ketika dikonfirmasi, Eneng Nurcahyati bersama para kepala bagian yang ada dalam rekaman tersebut tidak terlihat di kantornya. Termasuk, Kepala Badan Kepegawaian Banten. (ADI/Vin) (Liputan6.com)
KEGELISAHAN ULAMA NAHDIYIN di BANTEN 2011 atas KEJAHATAN RATU ATUT CHOSIYAH
Ulama Banten Desak KPK Usut Dugaan Korupsi Ratu Atut
- Thursday, November 24, 2011, 16:36
- Hukrim, Megapolitan
Forum Ulama Banten mendesak KPK untuk menindaklanjuti laporan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Salah satunya kasus dugaan korupsi dana hibah bantuan social.
“FORUM Ulama Banten mendesak KPK untuk segera menyelidiki dan menyidik kasus dugaan korupsi dana hibah bantuan sosial yang diduga dilakukan Ratu Atut Chosiyah,” kata salah satu perwakilan ulama, KH Muhtadi Dimiyati di kantor KPK, Kamis (24/11).
Muhtadi mengatakan, pihaknya akan terus memantau bahkan mengawasi KPK untuk menanyakan perkembangan kasus ini. Jika ada bukti yang membenarkan dugaan korupsi yang dilakukan Ratu Atut tersebut, maka KPK harus menyeret pihak-pihak yang terlibat ke dalam proses hukum.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan dugaan korupsi program bantuan hibah dan bantuan sosial Provinsi Banten senilai hampir Rp 400 miliar ke KPK. ICW menyatakan dana APBD tahun 2011 menyebutkan Gubernur Banten mengeluarkan kebijakan melalui program bantuan hibah yang jumlahnya fantastis, yakni Rp340 miliar. Dana tersebut dibagikan kepada 221 lembaga dan organisasi. Sedangkan bantuan sosial senilai Rp51 miliar.
■ ANU
Negara Kriminal Korupsi Birokrat Propinsi Banten (Ratu Atut Chosiyah)
Dituding Korupsi Dana Hibah dan Dana Bansos
Pendemo Minta KPK Tangkap Ratu Atut Chosiyah
Senin, 17 Oktober 2011 - 16:02 WIB
Negara Kriminal Korupsi Birokrat Propinsi Banten (Ratu Atut Chosiyah)
JAKARTA (Pos Kota) – Massa puluhan orang yang menamakan dirinya Forum Solidaritas Mahasiswa Banten 2011 (F-SMB’11) mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka menuntut Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang terindikasi korupsi terkait dengan Program Dana Hibah Banten 2011 sebesar Rp340 miliar dan Dana Bansos sebesar Rp51 miliar untuk diperiksa KPK.
“Kami minta KPK tidak tembang pilih dalam mengusut kasus korupsi,” kata seorang pendemo dalam orasinya, Senin (17/10).
Pendemo dalam rilisnya mengatakan Ratu Atut Chosiyah yang terindikasi korupsi karena kata mereka yang menerima dana bantuan tidak jelas.
Menurut pendemo lembaga penerima hibah fiktif, lembaga penerima hibah yang memiliki alamat saman, aliran dana ke lembaga yang dipimpin keluarga Gubernur, dana hibah tidak utuh dan sebagian besar penerima bantuan sosial tidak jelas.
“Untuk itu, kepada KPK agar memeriksa dan menangkap, mengadili Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mendesak kepada KPK agar turun ke Banten,” kata pedemo dengan suara lantang. (Rizal/dms)
Rabu, 23 November 2011
Negara Tak Sanggup Menyentuh Kriminal Korupsi Birokrat Propinsi Banten
Pemrov Banten diketahui menyalurkan dana hibah sebesar Rp 340 miliar ke 221 organisasi, forum masyarakat, dan instansi negara, serta menyalurkan dana bansos senilai Rp 51 miliar ke 160 lembaga.
Menurut Abdullah, ada lima jenis penyimpangan dalam pengelolaan program hibah dan bansos yang totalnya Rp 391 miliar itu. Penyelewengan pertama, dana hibah itu diberikan kepada lembaga-lembaga fiktif.
”Paling tidak, ada sepuluh lembaga penerima hibah yang diduga fiktif di beberapa daerah. Total anggaran untuk lembaga fiktif tersebut sebesar Rp 4,5 miliar,” katanya.
Perwakilan AIPP, Uday Suhada, menambahkan, dari 18 organisasi penerima hibah, hanya lima yang terdaftar sebagai organisasi formal.
”Di luar lembaga yang bersangkutan tidak diketahui legal atau tidak. Padahal, lembaga penerima hibah harus berbadan hukum, setidaknya tiga tahun,” ungkap Uday.
Penyelewengan kedua, lanjut Abdullah, sejumlah lembaga penerima hibah memiliki alamat yang sama.
”Setidaknya, ada delapan penerima hibah yang memiliki alamat sama, yaitu di Jalan Bridgen Syam'un, Kota Serang, dan empat lembaga dengan alamat sama, yaitu Jalan Syekh Nawawi Albantani Palima, Serang,” paparnya.
Padahal, dana hibah itu seharusnya diterima oleh lembaga-lembaga yang jelas nama dan alamatnya.
”Alokasi dana untuk masing-masing lembaga di Jalan Bridgen KH Syam'un sebesar Rp 22,5 miliar dan yang di jalan Syekh Nawawi total Rp 6,4 juta,” kata Abdullah.
Penyelewengan ketiga, dana tersebut dialirkan ke lembaga-lembaga yang dipimpin oleh keluarga gubernur. ”Mulai dari suami, kakak, anak, menantu, dan ipar,” ucap dia.
Abdullah mencontohkan, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) yang dipimpin suami Ratu Atut, Hikmat Tomet.
”Total hibah yang masuk ke lembaga yang dipimpin keluarga gubernur mencapai Rp 29,5 miliar,” ujarnya.
Keempat, dana hibah ini juga diduga telah dipangkas. Jumlah dana hibah yang diterima lembaga penerima tidak sesuai dengan pagu yang ditetapkan Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Banten.
”Contohnya, Lembaga Kajian Sosial dan Politik (Laksospol) Pandeglang. Dalam daftar penerima, lembaga itu memperoleh hibah Rp 500 juta. Tapi, surat pernyataan Ketua Laksospol Ayie Erlangga, mereka hanya terima Rp 35 juta,” papar Abdullah.
Adapun kerugian dari pemotongan tersebut mencapai Rp 925 juta. Terakhir, sebagian besar penerima bantuan sosial itu tidak jelas.
”Dari 160 penerima dana bansos, pemerintah daerah hanya mencantumkan 30 nama lembaga atau kepanitiaan dan tidak didukung alamat jelas,” ujar Abdullah.
Oleh karena itu, ICW dan AIPP meminta KPK melakukan penyelidikan terhadap pemberian dana bansos dan hibah tersebut. Dikhawatirkan, lanjut Abdullah, pemerintah daerah menjadikan kebijakan publik sebagai instrumen modal politik. Terlebih, ICW melihat bahwa alokasi dana hibah dan bansos Provinsi Banten terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
”Kenaikannya fantastis, pada 2009 totalnya mencapai Rp 74 miliar, tapi pada 2011, menjelang pilkada meningkat Rp 391 miliar,” tukasnya.